Minggu, 23 Mei 2010

Musik Bambu

Salah satu yang berasal dari MInahasa selain alat musik Kolintang adalah alat musik bambu. Alat musik bambu minahasa purba berbentuk tiga ruas bambu dengan panjang yang berbeda sekitar 8 cm yang di ikat menjadi satu. Alat musik ini terbuat dari Bulu Tui ( Bambu Kecil ) yang menghasilkan 3 jenis nada yang gunanya untuk memanggil burung Manguni di malam hari yang di sebut sori.
Kemudian berkembang menjadi Suling Bambu dengan jumlah not dari 3 sampai 5 not dengan satu lobang untuk meniup, tapi letak lobang tidak beraturan sehingga suling ini hanya di pergunakan oleh para petani yang menjaga ladang yang letaknya jauh dari kampung.
Musik Bambu mulai banyak dimainkan oleh masyarakat kristen protestan pertama yaitu sekitar tahun 1789 yaitu masyarakat Borgo yang ditempatkan di Manado, Tanawangko, Belang, Kema, Likupang dan Amurang. Dengan demikian Musik Bambu terbentuk pertama kali tahun 1840-an yang berbentuk Orkes Musik Suling, kemudian terpengaruh dengan dengan musik corps militer Belanda. Pada tahun 1870 meniup suling bambu menjadi salah satu mata pelajaran sol-mi-sa-si untuk belajar lagu-lagu Gereja. Sehingga setelah tahun 1900 sudah ada alat musik musik bambu yang berfungsi sebagai Bass dan Tuba (Piston) yang dikenal dengan nama Musik Bambu Melulu.
Pada tahun 1950-an selain suling kecil, suling sedang, korno, tuba, oferton (trombon), bass, tambur, Snar (gendrang), simbal, kapuraca kemudian ditambah lagi Klarinet dan Saxophon dari bambu buatan sendiri. Pada akhirnya Musik Bambu berkembang menjadi salah satu tradisional bergengsi yaitu dengan mengiringi lagu untuk menghormati Tamu Agung, Perkawinan, Upacara Adat dan Upacara lainnya.
Pada Tahun 1970-an bahan baku dari perlatan musik bambu seperti Klarinet, Saxophon, Tuba, Oferton, bass di ganti dari seng aluminium dengan bahan kuningan dan dikenal pada saat ini dengan nama Musik Bambu Seng Klarinet (MBSK), lalu kemudian pada tahun 1990 memakai bahan steinlees ( Vernekel ).

Alat Musik Kolintang

Kolintang merupakan alat musik khas dari Minahasa (Sulawesi Utara) yang mempunyai bahan dasar yaitu kayu yang jika dipukul dapat mengeluarkan bunyi yang cukup panjang dan dapat mencapai nada-nada tinggi maupun rendah seperti kayu telur, bandaran, wenang, kakinik atau sejenisnya (jenis kayu yang agak ringan tapi cukup padat dan serat kayunya tersusun sedemikian rupa membentuk garis-garis sejajar).

Kata Kolintang berasal dari bunyi : Tong (nada rendah), Ting (nada tinggi) dan Tang (nada tengah). Dahulu Dalam bahasa daerah Minahasa untuk mengajak orang bermain kolintang: "Mari kita ber Tong Ting Tang" dengan ungkapan "Maimo Kumolintang" dan dari kebiasaan itulah muncul nama "KOLINTANG” untuk alat yang digunakan bermain.

Pada mulanya kolintang hanya terdiri dari beberapa potong kayu yang diletakkan berjejer diatas kedua kaki pemainnya dengan posisi duduk di tanah, dengan kedua kaki terbujur lurus kedepan. Dengan berjalannya waktu kedua kaki pemain diganti dengan dua batang pisang, atau kadang-kadang diganti dengan tali seperti arumba dari Jawa Barat. Sedangkan penggunaan peti resonator mulai diterapkan pada saat Pangeran Diponegoro berada di Minahasa tahun 1830, di mana pada saat itu, konon peralatan gamelan dan gambang ikut dibawa oleh rombongannya.

Adapun pemakaian kolintang erat hubungannya dengan kepercayaan tradisional rakyat Minahasa, seperti dalam upacara-upacara ritual sehubungan dengan pemujaan arwah para leluhur. Itulah sebabnya dengan masuknya agama kristen di Minahasa, eksistensi kolintang demikian terdesak bahkan hampir menghilang sama sekali selama ± 100th. Sesudah Perang Dunia II, barulah kolintang muncul kembali yang dipelopori oleh Nelwan Katuuk (seorang yang menyusun nada kolintang menurut susunan nada musik universal). Pada mulanya hanya terdiri dari satu Melody dengan susunan nada diatonis, dengan jarak nada 2 oktaf, dan sebagai pengiring dipakai alat-alat "string" seperti gitar, ukulele dan stringbas.

Tahun 1954 kolintang sudah dibuat 2 ½ oktaf (masih diatonis). Pada tahun 1960 sudah mencapai 3 ½ oktaf dengan nada 1 kruis, naturel, dan 1 mol. Dasar nada masih terbatas pada tiga kunci (Naturel, 1 mol, dan 1 kruis) dengan jarak nada 4 ½ oktaf dari F s./d. C. Dan pengembangan musik kolintang tetap berlangsung baik kualitas alat, perluasan jarak nada, bentuk peti resonator (untuk memperbaiki suara), maupun penampilan. Saat ini Kolintang yang dibuat sudah mencapai 6 (enam) oktaf dengan chromatisch penuh.

Sebuah kolintang mempunyai 14-21 bilah kayu yang panjangnya sekitar 30-100 cm. Kayu yang lebih pendek menghasilkan tangga lagu (not) yang tinggi, sebaliknya kayu yang panjang menghasilkan not yang rendah. Kayunya adalah kayu lokal seperti, kayu telur, bandaran, wenang, kakinik atau sejenisnya (jenis kayu yang agak ringan tapi cukup padat dan serat kayunya disusun agar membentuk garis sejajar). Dalam perkembangannya saat ini, kayu yang bagus digunakan adalah kayu waru gunung dan kayu cempaka. Kolintang sendiri ada 4 tipe, yaitu: soprano, alto, tenor, dan bas.

Permainan musik kolintang tidaklah individual. Dibutuhkan minimal 6 orang pemain musik, lebih lengkapnya dibutuhkan 9 orang. Satu set kolintang terdiri dari: melodi (kolintang 1), pengiring kecil (banjo kolintang), pengiring menengah (ukulele kolintang), pengiring besar 1 (gitar kolintang 1), pengiring besar 2 (gitar kolintang 2), bas kecil (sello kolintang), bas normal (bas kolintang), selain itu juga dilengkapi kotak dan pemukul serta tutup kolintang.

Perkembangan kolintang tampil sebagai alat musik tradisional Indonesia di dunia cukup baik. Banyak kelompok musik yang memainkan kolintang di luar seperti Singapura, Australia, Belanda, Jerman, Amerika Serikat, Inggris, dan beberapa negara lainnya. Pemesanan terhadap kolintang pun banyak berdatangan dari luar seperti Australia, Cina, Korea Selatan, Hong Kong, dan lain-lain. Permainan musik kolintang banyak ditampilkan untuk pagelaran-pagelaran seni, pesta pernikahan, upacara penyambutan, peresmian, pengucapan syukur, dan acara pertandingan. Harmoni dari berbagai nada terdengar indah dan memukau pendengarnya.

Tari Maengket

Tari Maengket dalah tari tradisional yang berasala dari Minahasa – Sulawesi Utara yang dari Zaman dulu kala sampai saat ini terus dikembang. Tari Maengket sudah ada ditanah Minahasa sejak rakyat Minahasa mengenal pertanian. Tari maengket dilakukan pada saat sedang panen hasil pertanian dengan gerakan-gerakan sederhana. Sekarang tarian Maengket telah berkembang teristimewa bentuk dan tarinya tanpa meninggalkan keasliannya. Tari Maengket terdiri dari 3 babak yaitu : (1) Maowey Kamberu adalah suatu tarian yang dibawakan pada acara pengucapan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, dimana hasil pertanian terutama tanaman padi yang berlipat ganda/banyak. (2) Marambak adalah tarian dengan semangat kegotong-royongan, rakyat Minahasa Bantu membantu membuat rumah yang baru. Selesai rumah dibangun maka diadakan pesta naik rumah baru atau dalam bahasa daerah disebut “rumambak” atau menguji kekuatan rumah baru dan semua masyarakat kampong diundang dalam pengucapan syukur. (3) Lalayaan adalah tari yang melambangkan bagaimana pemuda-pemudi Minahasa pada zaman dahulu akan mencari jodoh mereka. Tari ini juga disebut tari pergaulan muda-mudi zaman dahulu kala di Minahasa [suaramanado.com]

Sabtu, 22 Mei 2010

INFO KEGIATAN

Sukseskan pagelaran internasional Seni Budaya Minahasa yang diselenggarakan oleh PINAESAAN KAWANUA MALANG RAYA bersama dengan Institut Seni Budaya Minahasa.

Thema : Kawanua Bakudapa dan Gebyar Seni Budaya Minahasa Tingkat Internasional.
Penyelenggara : Pinaesaan Kawanua Malang Raya dan Institut Seni Budaya Minahasa.
Acara : Seminar Budaya, Lomba Kolintang dan Tari Maengket, Festival Seni Budaya,
Bazar, Wisata Batu.
Tempat : Batu, Malang: Waktu: 10-15 Juni 2011.


Contact Person :
1. Andi 0341-364660.
2. Noldi Patalo, 0341-7088558, 0341-7088558
3. Hendrikus Dimpudus, 081555776688.